Langsung ke konten utama

TINDAK PIDANA PERIKANAN DI ZEE: SEBUAH DISKUSI

TINDAK PIDANA PERIKANAN DI ZEE: SEBUAH DISKUSI Hamzah Lubis * Nampaknya, terdapat perbedaan pemahaman antara hakim karir dengan hakim ad hoc dalam menerapkan hukuman pidana perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Para hakim menyadari bahwa saat ini, di ZEEI belum ada perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan negara lain. Namun dalam penerapan hukuman pidana perikanan ada yang menetapkan hanya hukuman denda saja dan ada pula hukuman denda plus subsider kurungan. Tulisan ini mencoba mengurai pemahaman dari dua aliran ini. Pendahuluan Ketika seorang calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan menyelesaikan diklat, yang dipahami dan diyakininya tidak ada hukuman badan ataupun kurungan bagi tindak pidana di ZEE. Namun ketika memutus perkara bersama hakim karir, terjadi benturan pendapat – pada umumnya – yang menyebabkan keyakinan hakim ad hoc berkurang sehingga mengalah atau tetap bertahan dengan memilih disenting opinion (DO). Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan melakukan banding bagi putusan pidana denda ”tidak ada” subsider kurungan. Beberapa putusan Pengadilan Tinggi menganulir putusan hakim pengadilan tingkat pertama dan menguatkan tuntutan Jaksa dengan memasukkan subsider kurungan (pada hal dakwaan jaksa memasukkan Pasal 102 UU No. 31/2004: tidak ada kurungan). Akhirnya, hakim ad hoc merobah keyakinannya. Hanya sebagian kecil yang masih bertahan dengan keyakinan tidak ada hukuman kurungan atau bentuk hukuman badan lainnya sehingga terus melakukan DO. Perbedaan putusan pada subtansinya pada cara pandang yang berbeda terhadap ZEE sebagai locus delicti dengan penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana khususnya Pasal 30 ayat 2. Ayat 2 dari pasal ini menyatakan: ”Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda tidak dibayar, maka diganti dengan hukuman kurungan”. Karena para tekong (nakhoda) kapal perikanan diduga tidak mampu membayar denda, maka untuk mengeksekusi putusan, hukuman denda ditambah dengan subsider hukuman kurungan. Wilayah Yuridiksi Undang-undang perikanan mempopulerkan istilah hukum ”Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)” Republik Indonesia. WPPRI meliputi genangan air, waduk, sungai, danau dan perairan. Dengan menyebutkan ZEEI adalah WPPRI, dapat memberi asumsi bahwa aturan hukum di ZEEI sama dengan aturan hukum di laut teritorial, danau, sungai dan lainnya yang juga WPPRI. Dengan demikian dapat dipahami dalam diskusi sesama hakim, seringkali memahami ZEE sebagai laut teritorial dengan hak berdaulat negara. Pada hal, ZEEI adalah wilayah yuridiksi dengan kedaulatan terbatas. ”Hak-hak berdaulat” negara di perairan dijelaskan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menyatakan : ”Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. ZEEI tidak termasuk dalam kedaulatan negara, di luar wilayah negara, masuk dalam kategori ”wilayah yurisdiksi”. Wilayah yurisdiksi, dijelaskan pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara, yang menyatakan bahwa: ”Wilayah yurisdiksi adalah wilayah di luar wilayah negara yang terdiri atas: zona ekonomi eksklusif, landas kontinen dan zona tambahan dimana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional”. Dari hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa ZEEI adalah WPPRI namun ZEEI bukanlah ” kedaulatan negara” (Psl. 4 UU No. 6/1996), berada ”diluar wilayah negara” (Psl. 1 (3) UU No. 43/2008) dan pelaksanaan hukum tunduk pada ”hukum internasional” (Psl.7 UU No. 43/2008). Hukum Internasional Kendati ZEEI bukanlah ” kedaulatan negara” , berada ”diluar wilayah negara” namun ZEEI adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Sebagai WPPRI, negara memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lainnnya dengan ketentuan ”sesuai hukum internasional”. Pasal 7 UU No. 43 tahun 2008 menyatakan: ”Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lainnya di wilayah yurisdiksi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan Hukum Internasional”. Hukum Internasional yang mengatur Zona Ekonomi Eksklusif adalah United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS). UNCLOS telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS. Ratifikasi dilakukan terhadap UNCLOS secara utuh dan menyeluruh. Pasal (1) UU No. 17 tahun 1985 menyatakan: ”Mengesahkan United Nations Conference on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut) yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris dilampirkan pada undang-undang ini”. Pada penjelasannya dinyatakan: ”Konvensi ini tidak membenarkan negara-negara mengadakan persyaratan (reservation) terhadap ketentuan-ketentuan dalam konvensi pada waktu mengesahkan, karena seluruh ketentuan konvensi ini merupakan satu paket yang ketentuan-ketentuannya sangat erat hubungannya satu dengan yang lain, dan oleh karena itu hanya dapat disahkan sebagai satu kebulatan yang utuh” (angka 14 huruf c). Dengan diratifikasinya UNCLOS , dengan demikian apa yang diatur UNCLOS ”menjadi aturan hukum mengikat” di Indonesia. Hal ini dinyatakan pada Pasal 15 ayat (2) UU No.24 th. 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang berbunyi: “ Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut”. Hukum Internasional di ZEE ZEE menurut UNCLOS dinyatakan dalam Bab V Pasal 55 yang menyatakan bahwa: ”Zona Ekonomi Eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan dalam bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan konvensi ini”. Bab V UNCLOS tentang ZEE (mulai Pasal 55 sampai Pasal 75) mewajibkan hukum nasional negara pantai: ”tunduk, harus sesuai, harus relevan, tidak bertentangan ” dengan UNCLOS. Hukum Nasional ”tunduk” dengan UNCLOS dinyatakan pada Pasal 55 : ”Zona Ekonomi Eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan dalam bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan konvensi ini”. Hukum Nasional ”harus sesuai” dengan UNCLOS dinyatakan pada: (1) Pasal 56 ayat 2 : ”Di dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini dalam Zona Ekonomi Eksklusif , Negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini” ; (2) Pasal 58 ayat 3: ”Hak-hak dan kewajiban Negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif: (3) Dalam hal melaksanakan hak-hak memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini di Zona Ekonomi Eksklusif, Negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini” dan (3) Pasal 73 ayat 1: ”Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini”. Hukum Nasional ”harus relevan” dengan UNCLOS dinyatakan pada Pasal 58 ayat 1: ”Hak-hak dan kewajiban Negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif: (1).Di Zona Ekonomi Eksklusif, semua Negara, baik Negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan konvensi ini, kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan,….”. Hukum Nasional ” tidak bertentangan” dengan UNCLOS dinyatakan pada Pasal 58 ayat 3: ”Hak-hak dan kewajiban Negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif: (3) Dalam hal melaksanakan hak-hak memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini di Zona Ekonomi Eksklusif, Negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini”. Aplikasi dari UNCLOS tentang ZEE mewajibkan hukum nasional negara pantai, harus: ”tunduk, harus sesuai, harus relevan, tidak bertentangan ” dengan UCLOS atau dengan ”ekstrim” Djoko Sarwoko (2009) membuat istilah ”hukum Nasional” tidak berlaku di ZEE. ” Jika tindak pidana dilakukan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif karena dipandang sebaga wilayah ”innocent pasage” maka tidak berlaku hukum nasional Indonesia, melainkan tunduk pada hukum laut Internasional. Dengan demikian jika pidana denda tidak dibayar oleh terpidana meskipun perbuatan pidana dilakukan di wilayah perikanan ZEE Indonesia tidak dapat diterapkan hukun nasional Indonesia”. Proses pradilan atas atas pelanggaran perundang-undangan perikanan di ZEE diatur pada Pasal 73 ayat 1 UNCLOS: “Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini”. Ketentuan pidana diatur pada Pasal 73 ayat 3 UNCLOS: ”Pidana Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan atau setiap bentuk pidana badan lainnya”. Mengingat hukum nasional Indonesia di ZEEI harus : ”tunduk, harus sesuai, harus relevan, tidak bertentangan ” dengan UNCLOS, dan UNCLOS menyatakan tidak ada hukuman kurungan atau bentuk pidana badan lainnya, mak semua perundang-undangan nasional yang bertentangan dengan UNCLOS termasuk Pasal 30 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang subsider kurungan, tidak dapat diberlakukan. Hukum Nasional di ZEE Pidana perikanan di ZEEI tidak boleh mencakup kurungan atau setiap bentuk pidana badan lainnya, diatur dalam beberapa undang-undang Republik Indonesia. Undang - Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS menyatakan Pasal 73 ayat 3: ”Pidana Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan atau setiap bentuk pidana badan lainnya”. Undang - Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 102 yang menyatakan: ”Ketentuan tentang pidana penjara dalam undang-undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf (b), kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Negara yang bersangkutan”. Pasal 5 ayat 1 huruf b, adalah ZEEI. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, pada Ketentuan Pidana (bab 7), semua pasal-pasal pidana dalam undang-undang ini, adalah ”pidana denda” (kendati diundangkan sebelum UNCLOS diratifikasi). Mengingat UU No. 17 tahun 1985, UU No. 31 tahun 2004 jo UU Nomor 45 tahun 2009 dan UU No. 5 tahun 1983 adalah undang-undang yang bersifat khusus (leks spesialis) maka undang-undang yang bersifat sepesialis meniadakan undang-undang yang bersifat umum. Oleh karena itu, Pasal 30 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang subsider kurungan ditiadakan dengan kekhususan tindak pidana perikanan di ZEEI. Pendapat Ahli Para ahli yang mendalami hukum internasional dengan mengacu kepada UNCLOS dan konvensi laut lainnya menyatakan bahwa tidak ada hukuman kurungan maupun bentuk hukuman badan lainnya bagi tindak pidana perikanan di ZEE. Salah seorang yang berpendapat sama adalah Djoko Sarwoko,SH., MH (Ketua Tunpidsus - MA). Dalam makalah yang berjudul: Pemidaan Dalam Tindak Pidana Perikanan (2009). Ia berpendapat Pasal 30 ayat 2 KUHP tidak dapat diterapkan. .” Jika tindak pidana dilakukan di wilayah Zona Ekonomo Eksklusif karena dipandang sebaga wilayah ”innocent pasage” maka tidak berlaku hukum nasional Indonesia, melainkan tunduk pada hukum laut Internasonal. Dengan demikian jika pidana denda tidak dibayar oleh terpidana meskipun perbuatan pidana dilakukan di wilayah perikanan ZEE Indonesia tidak dapat diterapkan hukun nasional Indonesia”. Bila di atas, Djoko Sarwoko menjelaskan pidana denda yang tidak dibayar tidak bisa diterapkan hukum nasional (termasuk Pasal 30 ayat 2 KUHP), maka di bawah ini ia menjelaskan secara tegas dan memberi contohnya. “Kalau di wilayah ZEE, maka ancaman pidana dengan denda sebanyaknya Rp. 225 juta (contohnya, penulis) tidak dibayar, maka tidak dikenal adanya pidana kurungan pengganti, karena terikat dan tunduk pada hukum laut internasional. Dengan demikian, jika pidana denda tidak dibayar maka tidak dapat diganti dengan upaya paksa lainnya; apalagi jika terpidana telah kembali ke Negara asalnya”. Penutup Dalam diskusi sesama hakim tentang dibolehkan atau tidaknya hukuman kurungan bagi tindak pidana perikanan di ZEE, beberapa hakim meminta agar Mahkamah Agung memperjelas dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) atau Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Republik Indonesia. Bila kita mengacu kepada Hukum Internasional, Hukum Nasional dan pendapat ahli tentang tindak pidana perikanan di ZEE; masih diperlukankah lagi Perma atau Sema? Atau masih perlukah para hakim berbeda pendapat dan berbeda putusan dalam kasus yang sama? Wallahu alam. *Ir. Hamzah Lubis, SH.,M.Si., CD. adalah Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan Ranai, alumni KSA XLII Lemhannas (1999) dan Candidat Doktor Lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Dakwaan Penuntutan Tindak Pidana Perikanan

SURAT DAKWAAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERIKANAN I. PENDAHULUAN Tindak pidana perikanan atau sering disebut illegal fishing adalah Penanganan perkara tindak pidana perikanan tidak saja sering mengundang silang pendapat, tetapi sering memunculkan ragam tafsir, baik menyangkut penerapan hukumnya, maupun menyangkut kewenangan. Hal demikian terjadi, disatu sisi karena keterbatasan pengetahuan tentang substansi hukumnya, di sisi lain menyangkut lingkup batas kewenangan masing-masing institusi penegak hukum, baik dalam tahap penyidikan (investigation level), tahap penuntutan (prosecution level) maupun tahap pemeriksaan di depan pengadilan (court level). Pada tanggal 29 Oktober 2009 yang lalu telah diundangkan Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan tentang Perikanan, diharapkan dengan adanya undang-undang ini, tidak saja memberikan kejelasan, tetapi juga dapat membangun suatu kondisi kepastian huk

Aspek Hukum Sebuah Tanda Tangan

ASPEK HUKUM DARI SEBUAH TANDA TANGAN Oleh : * Dedy Lean Sahusilawane,SH. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenali seseorang baik itu dalam lingkup keluarga, masyarakat ,melalui suatu bentuk panggilan yaitu sebuah nama dan tanda-tangan yang merupakan abstraksi dari jati diri seseorang. Yang menjadi suatu permasalahan ialah pada saat orang tersebut berinteraksi, misalnya membuat sebuah transaksi jual-beli, sewa-menyewa,surat-menyurat,dsb, maka orang tersebut akan membubuhkan tanda-tangan sebagai perlambang dari tindakan orang tersebut, bagaimana makna dari sebuah tanda tangan dalam tulisan ini, penulis akan mencoba memaparkan untuk memberikan pemahaman hukum terhadap makna pembubuhan sebuah tanda tangan dalam penandatanganan suatu akta. KUHPerdata (Burgelijk Wetboek) hanya mengakui surat yang bertanda tangan, karena surat dalam BW diperlukan sebagai sarana pembuktian dalam peruntukannya. Surat yang tidak bertanda tangan, tidak diakui dalam BW, karena ‘tidak dapat diketahui’