Langsung ke konten utama

Surat Dakwaan Penuntutan Tindak Pidana Perikanan

SURAT DAKWAAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERIKANAN I. PENDAHULUAN Tindak pidana perikanan atau sering disebut illegal fishing adalah Penanganan perkara tindak pidana perikanan tidak saja sering mengundang silang pendapat, tetapi sering memunculkan ragam tafsir, baik menyangkut penerapan hukumnya, maupun menyangkut kewenangan. Hal demikian terjadi, disatu sisi karena keterbatasan pengetahuan tentang substansi hukumnya, di sisi lain menyangkut lingkup batas kewenangan masing-masing institusi penegak hukum, baik dalam tahap penyidikan (investigation level), tahap penuntutan (prosecution level) maupun tahap pemeriksaan di depan pengadilan (court level). Pada tanggal 29 Oktober 2009 yang lalu telah diundangkan Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan tentang Perikanan, diharapkan dengan adanya undang-undang ini, tidak saja memberikan kejelasan, tetapi juga dapat membangun suatu kondisi kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana perikanan yang mencakup penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan, tidak saja mengatur tentang hukum pidana materiil, tetapi juga mengatur tentang hukum pidana formil yang bersifat spesifik, sehingga dalam hal-hal tertentu diatur secara khusus (lex spesialis) dan ketentuan ini mengesampingkan hukum pidana formil yang bersifat umum yang diatur di dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, seperti masalah penyidikan terkait dengan kewenangan penyidik, penahanan dan penyidikan lanjutan, masalah penuntutan terkait dengan syarat sebagai penuntut umum, penelitian berkas perkara, penahanan dan perpanjangan penahanan serta batas waktu pelimpahan perkara. Sedangkan yang menyangkut masalah pemeriksaan di sidang pengadilan terkait dengan susunan Majelis Hakim, jangka waktu pemeriksaan persidangan, penahanan dan pemeriksaan in absentia. Hukum Acara Pidana, tidak saja memuat tentang hak dan kewajiban yang terkait dalam suatu proses pidana, tetapi juga memuat tentang tata cara proses pidana yang menjadi tugas dan kewenangan masing-masing institusi penegak hukum tersebut. Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) menganut azas spesialisasi, deferensiasi dan kompartemenisasi, tidak saja membedakan dan membagi tugas serta kewewenangan, tetapi juga memberi sekat pertanggungjawaban lingkup tugas suatu proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang terintegerasi karena antara institusi penegak hukum yang satu dengan yang lainnya secara fungsional ada hubungan sedemikian rupa di dalam proses penyelesaian perkara pidana. Pola yang demikian disebut dengan integrated criminal justice system, artinya ada keterpaduan dalam sistem peradilan pidanayang ditempuh melalui proses jalannya penyelesaian perkara dari sub sistem penyidikan, sub sistem penuntutan sampai kepada sub sistem pemeriksaan di sidang pengadilan dan sub sistem pelaksanaan putusan pengadilan. Kelancaran proses penyelesaian perkara tersebut, ditentukan oleh bekerjanya sistem peradilan pidana. Tidak berfungsinya salah satu sub sistem akan mengganggu bekerjanya sub sistem yang lain, yang pada akhirnya menghambat bekerjanya proses peradilan. Secara jujur harus kita akui, bahwa munculnya permasalahan-permasalahan di dalam praktek selain adanya perbedaan tafsir terhadap muatan suatu ketentuan dari peraturan perundang-undangan, seringkali juga karena adanya ego sektoral, dan Hukum Acara Pidana sendiri belum merumuskan secara tegas tentang apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana terpadu. Untuk menjembatani permasalahan tersebut, selain telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kehakiman tentang Pedoman KUHAP, ditempuh juga melalui kesepakatan-kesepakatan para petinggi hukum yang dituangkan di dalam Mahkejapol, Keputusan Bersama/Instruksi atau Law Summit. Di dalam penanganan perkara tindak pidana perikanan, dengan keluarnya Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan, diharapkan tidak saja dapat mengeliminir permasalahan-permasalahan yang selama ini muncul dalam praktek, tetapi juga dapat lebih memberikan kejelasan, kepastian dan menentukan kewenangan. Oleh karena itu sesuai dengan tugas dan wewenang Kejaksaan, maka ruang lingkup pembahasan selanjutnya hanya difokuskan terhadap pelaksanaan penuntutan terhadap tindak pidana perikanan. II. SURAT DAKWAAN 1. Persiapan Pembuatan Surat Dakwaan a. Penelitian Berkas Perkara Fokus penelitian diarahkan pada terpenuhinya kelengkapan formil dan rnateriil, guna rnengetahui sejauhmana fakta-fakta hasil penyidikan dapat mendukung perumusan Surat Dakwaan beserta upaya pembuktiannya. Perlu diidentifikasi dan diinventarisasi alat-alat bukti yang merniliki keabsaha.n dan kekuatan pernbuktian. Selanjutnya perlu juga identifikasi dan inventarisasi kelemahan yang melekat pada berkas perkara untuk mempersiapkan fakta-fakta yuridis yang mantap dan akurat guna mengantisipasi kendala yang timbul dalam Upaya Pembuktian ; b. Menelaah ketentuan-ketentuan Pidana Terkait. Setelah diperoleh kepastian tentang pelaku Tindak Pidana, kualifikasi dan ketentuan pidana yang akan didakwakan, waktu dan tempat Tindak Pidana, modus operandi yang digunakan, akibat Tindak Pidana dan motivasi yang mendorong terdakwa melakukan Tindak Pidana, maka dilakukan penelaahan terhadap ketentuan-ketentuan pidana terkait guna menetapkan ketentuan pidana yang paling mantap dan tepat untukditerapkan dalam Surat Dakwaan. c. Pemilihan Bentuk Surat Dakwaan. Setelah diidentifikasi jenis, sifat Tindak Pidana dan ketentuan didana yang dilanggar, lalu dilakukan pemilihan bentuk Surat Dakwaan yang paling tepat. d. Matrik Surat Dakwaan. Dalam perkara-perkara yang sulit pembuktiannya atau perkara-perkara penting, sebelum merumuskan konsep Surat Dakwaan hendaknya ,disusun matrik Surat Dakwaan yang menggambarkan suatu bagan (flow chart) mulai dari kualifikasi Tindak Pidana beserta pasal yang dilanggar, unsur-unsur Tindak Pidana, fakta-fakta perbuatan terdakwa, alat-alat bukti pendukung dan barang bukti yang dapat mendukung upaya pembuktian. Masing-masing komponen tadi ditempatkan dalam satu kotak yang berhubungan secara pararel dengan kotak yang berada disebelah kanannya. Dari flow chart tersebut tergambar : kualifikasi dan ketentuan pidana yang dilanggar, unsur-unsur Tindak Pidana, fakta-fakta perbuatan terdakwa yang memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana, alat bukti yang mendukung pembuktian setiap unsur pasal yang didakwakan dan barang bukti yang dapat melengkapi upaya pembuktian. Sebelum disusun konsep akhir Surat Dakwaan, sebagai persiapan pelimpahan perkara dilakukan ekspose guns membahas Surat Dakwaan beserta upaya pembuktianya. e. Bila ditemui keragu-raguan dalam pembuatan Surat Dakwaan, agar hal ini dipecahkan melalui dinamika kelompok dalam bentuk forum diskusi yang melibatkan Jaksa-jaksa senior. f. Konsep Surat Dakwaan. Matrik Surat Dakwaan yang telah tersusun merupakan esensi dakwaan yang berfungsi sebagai kendali dalam merumuskan konsep Surat Dakwaan. Konsep Surat Dakwaan yang telah disusun dikonsultasikan dengan Kepala Seksi Pidana Umum clan setelah disetujui konsep tersebut disiapkan dalam bentuk konsep akhir Surat Dakwaan untuk selanjutnya dimintakan persetujuan Kepala Kejaksaan Negeri. Setelah mendapat persetujuan Kepala Kejaksaan Negeri atau Kasi Pidana Umum barulah perkara dapat dilimpahkan ke Pengadilan. Untuk memahami mekanisme pembuatan Surat Dakwaan demikian agar dikaji ulang SEJA Nomor : SE-001 /J.A/2/ 1989 tentang Pengendalian Dan Pencegahan Timbulnya Ekses Dalam Pelaksanaan Kegiatan Yustisial. 2. Syarat-syarat Surat Dakwaan. a. Syarat Formal. Sesuai dengan ketentuan pasal 143 (2) huruf a KUHAP, Surat Dakwaan harus mencantumkan tanggal clan tanda tangan Penuntut Umum pembuat Surat Dakwaan, identitas lengkap terclakwa yang meliputi : nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggat, agama clan pekerjaan. Sesuai KEPJA Nomor : KEP-120/J.A/12/1992 -Identitas terdakwa tersebut dilengkapi dengan pendidikan (vide P-29 dan P-30). Pencantuman tanggal dan tanda tangan diperlukan guna memenuhi syarat sebagai suatu akte, sedang rincian identitas dimaksudkan untuk mencegah Error in Persona. Tidak dipenuhinya syarat formal tersebut dapat menyebabkan pembatalan (vernietigbaar) Surat Dakwaan. b. Syarat Materiil. Sesuai dengan ketentuan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, Surat Dakwaan harus diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap tentang Tindakan Pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat Tindak Pidana itu dilakukan. Tidak dipenuhinya syarat ini dakwaan diancam dengan batal demi hukum (absolut nietig). Uraian syarat materiil ini dipenuhi bila Tindak Pidana beserta waktu dan tempatnya dirumuskan secara 1) Cermat Uraian yang didasarkan kepada ketentuan pidana terkait, tanpa adanya kekurangan/ kekeliruan yang menyebabkan Surat Dakwaan batal demi hukum atau dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvanklijk verklaard). Dalam hal ini dituntut sikap yang korek terhadap keseluruhan materi Surat Dakwaan. 2) Jelas Uraian yang jelas dan mudah dimengerti dengan cars menyusun redaksi yang mempertemukan fakta-fakta perbuatan terdakwa dengan unsur-unsur Tindak Pidana yang didakwakan, sehingga terdakwa yang mendengar atau membacanya akan mengerti dan menclapatkan gambaran tentang : siapa yang melakukan tindak pidana, tindak pidana yang dilakukan, kapan dan dimana Tindak Pidana tesebut dilakukan, apa akibat yang ditimbulkan dan mengapa terdakwa melakukan Tindak Pidana itu. Uraian komponen-komponen tersebut disusun secara sistematik dan kronologis dengan bahasa yang sederhana. 3) Lengkap Uraian yang bulat dan utuh yang mampu menggambarkan unsur-unsur Tindak Pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat Tindak Pidana itu dilakukan. Menyusun uraian secara cermat, jelas dan lengkap tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut Dirumuskan terlebih dahulu unsur-unsur Tindak Pidana yang didakwakan yang kemudian disusul dengan uraian fakta-fakta perbuatan terdakwa yang memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana tersebut; atau Dirumuskan unsur-unsur Tindak Pidana dan fakta-fakta perbuatan secara langsung dan bertautan satu sama lain sehingga tergambar bahwa semua unsur Tindak Pidana tersebut terpenuhi oleh fakta perbuatan terdakwa. Uraian dalam bentuk kedua ini paling lazim dilakukan. Kecermatan, kejelasan dan kelengkapan uraian waktu dan tempat Tindak Pidana guna memenuhi syarat-syarat yang berhubungan dengan waktu Berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana pasal 1 (1) KUHP); - Ketentuan tentang recidive (pasal 486 s/d 488 KUHP);  Pengajuan alibi oleh terdakwa/penasehat hukum;  Kepastian tentang batas usia (dewasa/belum); Keadaan-keadaan yang memberatkan (misainya malam hari, pasal 363 KUHP); Dapat tidaknya terdakwa dipidana (misainya keadaan perang, pasal 123 KUHP); Selanjutnya yang berhubungan dengan tempat  Kompetensi relatif pengadilan (pasal 137, 148 clan 84 KUHAP); Ruang lingkup berlakunya Undang-undang Pidana (pasal 2 s/d 9 KUHP).  Unsur Delik, seperti dimuka umum (pasal 154, 156,156a, 160 KUHP). 3. Bentuk Surat Dakwaan Sesuai dengan bentuk Surat Dakwaan yang lazim dilaksanakan dalam praktek, dikenal bentuk-bentuk dakwaan a. Tunggal Dalam Surat Dakwaan ini hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, tidak terdapat dakwaan lain balk sebagai alternatif maupun sebagai pengganti. Misalnya dalam Surat Dakwaan hanya didakwakan Tindak Pidana pencurian (pasal 362 KUHP). b. Alternatif Dalam bentuk ini dakwaan disusun atas beberapa lapisan yang satu mengecualikan dakwaan pada lapisan yang lain. Dakwaan alternatif dipergunakan karena belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang akan dapat dibuktikan. Lapisan da4waan tersebut dimaksudkan sebagai "jaring berlapis" guna mencegah lolosnya terdakwa dari dakwaan. Meskipun dakwaan berlapis, hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan, bila salah satu dakwaan telah terbukti, maka lapisan dakwaan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Contoh dakwaan disusun secara alternatif Pertama : Pencurian (pasal 362 KUHP), atau penadahan (pasal 480 KUHP). Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secaraberurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi Iangsung kepada lapisan dakwaan yang dipandang terbukti. c Subsider Bentuk dakwaan ini dipergunakan apabila satu Tindak Pidana menyentuh beberapa ketentuan pidana, tetapi belum dapat diyakini kepastian tentang kualifikasi dan ketentuan pidana yang lebih tepat dapat dibuktikan. Lapisan dakwaan disusun secara berurutan dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terberat sampai pads Tindak Pidana yang diancam dengan pidana teringan dalam kelompok jenis Tindak Pidana yang sama. Misalnya lapisan dakwaan disusun secara berurut: Primer Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP); Subsidair Pembunuhan (pasal 338 KUHP); Lebih Subsidair Penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang (pasal 355 (2) KUHP); Lebih Subsidair lagi Penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang (pasal 354 (2) KUHP); Lebih-Iebih Subsidair lagi Penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya orang (pasal 351 (3) KUHP). Persamaannya dengan dakwaan alternatif ialah hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan, sedangkan perbedaannya pada sistem penyusunan lapisan dakwaan dan pembuktiannya yang harus dilakukan secara berurutan dimulai dari lapisan pertama sampai kepada lapisan yang dipandang terbukti. Setiap lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas disertai dengan tuntutan untuk dibebaskan dari dakwaan yang bersangkutan. d. Kumulatif Bentuk ini digunakan bila kepada terdakwa didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus dan Tindak Pidana tersebut masing-masing berdiri sendiri (Concursus Realis). Semua Tindak Pidana yang didakwakan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas disertai tuntutan untuk membebaskan terdakwa dari dakwaan yang bersangkutan. Persamaannya dengan dakwaan Subsidair, karena sama-sama terdiri dari beberapa lapisan dakwaan dan pembuktiannya dilakukan secara berurutan. Misalnya dakwaan disusun Kesatu : Pembunuhan (pasal 338 KUHP); Kedua : Pencurian dengan pemberatan (pasal 363 KUHP); Ketiga : Perkosaan (pasal 285 KUHP). e. Kombinasi/Gabungan. Bentuk ini merupakan perkembangan baru dalam praktek sesuai perkembangan di bidang kriminalita yang semakin uariatif balk dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan. Kombinasi/gabungan dakwaan tersebut terdiri dari dakwaan kumulatif dan dakwaan subsider. Misalnya dakwaan disusun dengan sistematik sebagai berikut Kesatu Primer Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP); Subsider : Pembunuhan (pasal 338 KUHP); Lebih Subsider : Penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang (pasal 355 ayat 2 KUHP). Kedua Perampokan/pencurian dengan kekerasan (pasal 365 ayat 3 dan 4 KUHP). Ketiga Perkosaan (pasal 285 KUHP). 4. Beberapa hai yang perlu diperhatikan dalam pembuatan surat dakwaan a. Pengertian perbuatan (felt) menurut doktrin. 1) Perbuatan dilihat dari sudut "materiele feiten" yaitu perbuatan yang dilakukan oleh manusia (menslijke handelingen). Perbuatan materili ini adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang serta harus dirumuskan secara jelas clan tegas dalam dakwaan. 2) Perbuatan dilihat dari sudut unsur-unsurnya (unsur obyektif dan unsur Subyektif). Kedua unsur tersebut harus dirumuskan secara jelas dan tegas dalam surat dakwaan. Unsur Obyektif adalah unsur yang berkenaan dengan bentuk, jenis, sifat tindak pidana tersebut. Sedangkan unsur subyektif berkenaan dengan diri pelaku dan hal ini menyangkut pertanggung jawaban pidana. b. Penggunaan istilah lapisan dakwaan Dalam praktek digunakan istilah-istilah pertama, kedua dan seterusnya atau kesatu, kedua dan seterusnya, primer, subsider dan seterusnya (sesuai putusan Mahkamah Agung Regno : 133/K/Kr/ 1958 dan Putusan Mahkamah Agung Regno 606K/Pid/1984). c. Uraian dalam masing-masing lapisan dakwaan Dalam menguraikan Tindak Pidana yang didakwakan agar diupayakan jangan sampai terjadi 1) Uraian yang bertentangan satu sama lama lain atau uraian yang kabur / samar-samar; 2) Bentuk Surat Dakwaan tidak sesuai dengan hasil penyidikan 3) Uraian dakwaan yang hanya menunjuk kepada uraian dakwaan terdahulu, sedang Tindak Pidana yang didakwakan secara prinsipil berbeda satu sama lain; 4) Menggabungkan uraian unsur-unsur Tindak Pidana yang satu dengan yang lain sehingga secara konkrit Tindak Pidana yang didakwakan tidak tergambar secara jelas, seperti menggabungkan unsur-unsur penipuan dan penggelapan dalam satu lapisan dakwaan; 5) Menggabungkan dakwaan Tindak Pidana yang harus diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Biasa/Acara Pemeriksaan Singkat dengan dakwaan Tindak Pidana yang harus diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat, seperti menggabungkan dakwaan pasal 359 KUHP dengan dakwaan pelanggaran Lalu Lintas;. 6) Dalam hal beberapa orang terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana, harus jelas Rwalitas masing-masing terdakwa dan peranannya. Ketidak jelasan hal ini menurut putusan Mahkamah Agung Reg No : 600K/PID/1962 menyebabkan batainya Surat Dakwaan karena obscuur libele (kabur). d. Penggabungan dakwaan Tindak Pidana Khusus dan Tindak Pidana Umum. Penggabungan demikian dapat dibenarkan dan hendaknya kita berpegang pada dasar peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Bila Tindak Pidana Khusus tersebut disidik sendiri oleh Kejaksaan, kemudian di persidangan dakwaan yang terbukti adalah dakwaan Tindak Pidana Umum, maka berkas perkara tersebut diregister sebagai perkara Tindak Pidana Umum. 5. Perubahan Surat Dakwaan. a. Perubahan Surat Dakwaan diiaksanakan dengan maksud untuk menyempurnakannya sehingga memenuhi segenap syarat formil dan materiii dikaitkan dengan kepentingan pembuktian (ketentuan tentang perubahan Surat Dakwaan diatur dalam pasal 144 KUHAP). b. Undang-undang tidak membatasi ruang Iingkup substansi perubahan Surat Dakwaan. Yang dibatasi hanyalah waktu untuk melaksanakan per-ubahan. Dengan demikian perubahan tersebut dapat mengenai syarat formil, syarat materiii, penggantian Tindak Pidana yang didakwakan (se-panjang tercermin dalam hasil penyidikan), penyempurnaan bentuk dan penyempurnaan redaksional. c. Setelah perkara dilimpahkan dan sebelum penetapan hari sidang dikeluarkan atau tujuh hari sebelum pemeriksaan sidang dimulai, masih dapat dilakukan perubahan Surat Dakwaan. Dalam hal demi-kian agar dilakukan pemberitahuan tertulis kepada Ketua Pengadilan atau Ketua Majelis / Hakim yang bersangkutan dan b perkara yang telah dilimpahkan tidak perlu ditarik kembali. Setelah perubahan dakwaan dilaksanakan, surat dakwaan yang telah mengalami penyempurnaan. dikirimkan kepada Ketua Pengadilan / Ketua Majelis / Hakim yang bersangkutan guna menggantikan dakwaan yang sebelumnya terlampir pada pelimpahan perkara. Surat pengantar beserta Iampirannya (surat dakwaan yang disempurnakan) ditembuskan kepada terdakwa / penasehat hukumnya. d. Perubahan Surat Dakwaan dapat pula terjadi setelah dakwaan tersebut dinyatakan batal atau batal demi hukum atau dinyatakan tidak dapat diterima. Perubahan atau" penyusunan Surat Dakwaan yang baru dimaksudkan untuk melengkapi kekurangan syarat-syarat yang telah menyebabkan dakwaan itu dinyatakan batal atau batal demi hukum atau dinyatakan tidak dapat diterima. Setelah Surat Dakwaan disempurnakan dan syarat-syarat pernuntutan dilengkapi perkara dilimpahkan kembali ke Pengadilan. Pelimpahan kembali perkara tersebut belum terkena ketentuan nebis in idem, karena pembatalan dakwaan atau pernyataan dakwaan batal demi hukum atau pernyataan dakwaan tidak dapat diterima, merupakan putusan sela yang bersifat prosesual. Putusan demikian belum menyentuh pokok perkara dan tidak bersifat memeriksa dan mengadili. III. KEBIJAKAN PENUNTUTAN TERHADAP HASIL PENYIDIKAN TINDAK PIDANA (PERIKANAN) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menganut sistem penuntut umum tunggal (single prosecution system) yang dilakukan oleh Jaksa (pasal 13 dan 15 KUHAP). Meskipun KUHAP sendiri memberikan diskresi Penyidik untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dalam perkara tipiring, tetapi tidak menghilangkan eksistensi Jaksa sebagai penuntut umum tunggal (een en ondeelbaar). Apa yang dilakukan oleh penyidik melakukan penuntutan suatu perkara tindak pidana ringan adalah atas kuasa penuntut umum (pasal 205 ayat (2) KUHAP). Di dalam pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP, dinyatakan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melaksanakan penuntutan serta melaksanakan penetapan Hakim dan menurut pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, Jaksa adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Sedangkan penuntutan menurut pasal 1 angka 7 KUHAP adalah tindakan Penuntut Umum melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan. Tugas dan kewenangan Penuntut Umum dalam suatu perkara pidana secara fungsional berkaitan erat dengan tugas dan kewenangan Penyidik di dalam penanganan suatu perkara pidana. Koordinasi fungsional antara Penyidik dan Penuntut Umum dalam suatu penanganan perkara pidana (proses pra penuntutan) menyangkut 6 (enam) permasalahan mendasar, meliputi : 1. Pemberitahuan dimulainya penyidikan (pasal 109 ayat 1 KUHAP). 2. Perpanjangan penahanan untuk kepentingan penyidikan (pasal 24 ayat 2 KUHAP). 3. Penghentian penyidikan (pasal 109 ayat 2 KUHAP), sebaliknya Penuntut Umum jika menghentikan penuntutan (pasal 140 ayat 2 huruf c KUHAP). 4. Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum (pasal 110 ayat 1 KUHAP). 5. Penyidikan lanjutan berdasarkan petunjuk Penuntut Umum dalam berkas dinyatakan kurang lengkap (pasal 110 ayat 2 dan 3 KUHAP). 6. Penuntut umum memberitahukan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan kepada penyidik (pasal 143 ayat 4, demikian pula dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia memberikan turunan perubahan surat dakwaan itu kepada Penyidik (pasal 144 ayat 3). Dari ke 6 permasalahan yang mendasar di atas, setelah diundangkannya Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan tentang Perikanan, ada perubahan yang fundamental terkait dengan permasalahan pada butir 1, 2, 4 dan 5. Pertama, permasalahan menyangkut butir 1 tentang pengiriman surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang dapat dilakukan langsung oleh Penyidik PPNS Perikanan kepada Penuntut Umum berdasarkan Ketentuan pasal 73 ayat 1 dan 73 B ayat (1) Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan. Dalam praktek selama ini Penyidik biasanya tidak serta merta setelah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan mengirimkan SPDP kepada Penuntut Umum, SPDP sebagian besar dikirim jika ada permintaan perpanjangan penahanan atau bersamaan dengan pengiriman hasil pernyidikan (berkas perkara) tahap I. Oleh karena itu Penuntut Umum tidak dapat berpartisipasi sejak dimulainya penyidikan melalui media konsultasi, sehingga konsultasi baru dilakukan setelah berkas perkara tahap I diterima oleh Penuntut Umum. Kedua, permasalah menyangkut butir 2 tentang perpanjangan penahanan, berbeda dengan KUHAP sesuai dengan ketentuan pasal 24 ayat 2 Penuntut Umum dapat memberikan perpanjangan penahanan kepada Penyidik paling lama 40 hari, sedangkan dalam perkara tindak perikanan sesuai dengan ketentuan pasal 73 B ayat 3 Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan, perpanjangan penahanan tersebut hanya dapat diberikan oleh Penuntut Umum paling lama 10 hari. Dalam praktek sering permintaan perpanjangan penahanan tersebut dikirimkan ke Penuntut Umum menjelang akan berakhirnya masa penahanan penyidikan ( 2 atau 3 hari akan berakhirnya masa penahanan), sehingga dapat memungkinkan tersangka lepas demi hukum kalau surat permintaan perpanjangan penahanan dari Penuntut Umum terlambat diterbitkan. Untuk menghindari tersangka lepas demi hukum, seyogianya permintaan perpanjangan penahanan tersebut dikirim dalam tenggang waktu yang relatif cukup. Ketiga, permasalahan menyangkut butir 4 tentang Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum, yaitu apabila penyidikan telah selesai, maka Penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada Penuntut Umum yang merupakan penyerahan tahap pertama yaitu hanya berkas perkaranya saja (pasal 8 ayat 3 sub a dan pasal 110 ayat 1) atau yang lazim disebut Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dalam perkara tindak pidana perikanan sesuai dengan ketentuan pasal 73 ayat 1, 4 dan 5 UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan, Penyidik, baik Penyidik PPNS Perikanan, Perwira TNI Angkatan Laut maupun Penyidik Polri dapat menyampaikan langsung hasil penyidikan kepada Penuntut Umum, berbeda dengan perkara tindak pidana yang dilakukan Penyidik PPNS tertentu lainnya seperti Balai POM atau Kehutanan. Pengertian berkas perkara, tidak diatur di dalam KUHAP (pasal 8, pasal 12, dan pasal 138 KUHAP). Sinonim berkas perkara secara singkat menurut pasal 107 ayat 3 dan pasal 139 KUHAP, adalah “hasil penyidikan”. Berkas perkara atau hasil penyidikan baru dapat dilimpahkan ke pengadilan, apabila memenuhi kelengkapan formil dan materiil dari suatu berkas perkara atau hasil penyidikan. Kelengkapan formil secara umum antara lain meliputi : a. Setiap tindakan yang dituangkan dalam berita acara, harus selalu dibuat oleh pejabat yang berwenang (penyidik/penyidik pembantu) atas kekuatan sumpah jabatan, dan ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat tindakan dimaksud dan diberi tanggal (pasal 75 jo 121 KUHAP). b. Syarat kepangkatan untuk penyidik/penyidik pembantu (pasal 2 dan 3 PP No. 27/tahun 1983; dan Keputusan Menteri Kehakiman No : M. 05.PW.07.04 tahun 1984) c. Keabsahan tindakan penyidik/penyidik pembantu dalam hal tertentu harus berdasarkan izin yang berwenang dan izin tersebut dilampirkan dalam berkas beserta Surat Perintah Penyidikan, seperti surat persetujuan permintaan keterangan sebagai saksi/tersangka bagi Pejabat Negara tertentu dari pejabat yang berwenang (pasal 106 UU tentang Susduk serta pasal 53 ayat 1 dan pasal 36 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), penggeledahan berupa izin ketua pengadilan negeri (pasal 33 KUHAP) dan berita acara penyitaan harus ditanda tangani dari siapa barang tersebut disita dan 2 orang saksi (pasal 129 ayat 2 KUHAP). Bagi daerah-daerah yang kondisi geografi, dan transportasinya menimbulkan hambatan dalam permintaan izin penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, maka Penyidik dapat menerapkan ketentuan pasal 34 dan pasal 38 ayat 2 KUHAP. Dalam berkas perkara hendaklah dilampirkan tembusan Laporan penyitaan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan. Bila barang sitaan dipinjamkan, tidak diperlukan izin Ketua Pengadilan Negeri, tetapi ada kewajiban dititipkan melaporkan kepadanya, tetapi apabila merubah status benda sitaan harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri (Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 2 halaman 3). Bila benda sitaan dijual lelang sebelum mendapat keputusan Pengadilan maka harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri (Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 7). d. Identitas (143 ayat 2 sub a KUHAP) harus memuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. e. Terhadap barang bukti yang diserahkan secara sukarela oleh saksi/tersangka dibuat Berita Acara Penerimaan dan dimintakan persetujuan Ketua Pengadilan. f. Dalam hal delik aduan, harus ada pengaduan dari pihak yang berkepentingan (pasal 72 KUHP). g. Apabila suatu perkara pembuktiannya memerlukan pemeriksaan laboratorium, maka hasil laboraturium tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara. Sedangkan kelengkapan materiil secara umum, antara lain meliputi: a. Adanya perbuatan melawan hukum, sesuai dengan pengertian perbuatan dan pengertian melawan hukum, dengan mempedomani unsur-unsur delik yang disangkakan. b. Adanya kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun berupa kelalaian sesuai dengan unsur-unsur delik yang disangkakan. c. Adanya minimal dua alat bukti yang dapat mendukung atau membuktikan perbuatan dan kesalahan tersangka (pasal 183 KUHAP) d. Alat bukti yang menunjukan tempus delicti, sehingga dapat diketahui daluarsa atau tidaknya penuntutan dan apakah delik yang disangkakan merupakan delik yang dikualifikasikan atau tidak serta untuk mengetahui ada tidaknya perubahan ketentuan normatif hukum pidana positif setelah dilakukannya delik. e. Alat bukti yang menunjukkan locus delicti, sehingga dapat diketahui keberlakuan hukum pidana positif dan untuk menentukan Kejaksaan mana/Pengadilan Negeri mana yang berwenang melakukan penuntutan/mengadili (kompetensi relatif). f. Kejelasan tentang peran pelaku dan atau para pelaku serta kualitasnya, begitupun kejelasan tentang tingkat pelaksanaan/penyelesaian delik sehingga jelas 18 pertanggungjawaban tersangka/para tersangka. Kualitas pelaku dan atau para pelakupun perlu jelas, sehingga dapat ditentukan pengadilan yang berwenang mengadili (kompetensi absolut). g. Apakah perbuatan/kesalahan tersangka termasuk tindak pidana khusus untuk dapat dilakukannya penyelidikan tambahan sendiri oleh Kejaksaan (pasal 284 ayat 2 KUHAP jo. pasal 17 PP No. 27 tahun 1983). h. Perlu tidaknya berkas perkara dipecah (splitsing), baik untuk mencukupi upaya pembuktian maupun untuk mengembangkan perkara. Menyangkut kelengkapan formil dan materil di atas tidak mutlak secara kasuistis dapat disesuaikan dengan delik yang disangkakan. Disamping kelengkapan formil dan materil di atas yang perlu diperhatikan juga adalah ketentuan pasal 76 ayat 1 KUHP, bahwa suatu perbuatan tidak dapat dituntut dua kali (nebis in idem) dan pasal 78 ayat 1 KUHP karena perbuatan tersebut telah daluarsa, atau pasal 83 KUHP jika tersangka atau terdakwa telah meninggal dunia, di samping pasal 56 jo pasal 114 KUHAP hak seorang tersangka untuk didampingi penasihat hukum, pasal 116 KUHAP hak tersangka mengajukan saksi yang menguntungkan baginya, pasal 117 KUHAP keterangan tersangka dan atau saksi diberikan tanpa adanya paksaan dari siapapun dan dalam bentuk apapun, pasal 33 ayat 3, 4 dan 5, KUHAP syarat sahnya suatu penggeledahan, pasal 45 KUHAP syarat sahnya suatu penyitaan, pasal 47 KUHAP syarat sahnya suatu penerimaan surat, pasal 48 KUHAP syarat sahnya suatu pembukaan dan pemeriksaan surat, pasal 76 KUHAP syarat sahnya suatu sumpah atau janji serta pasal 113 KUHAP syarat sahnya suatu permintaan keterangan di tempat kediaman tersangka atau saksi. Secara umum jika dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu kepada penyidik, maka penyidikan dianggap telah selesai. Tetapi apabila penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dalam tenggang waktu 7 hari dan dalam waktu tenggang waktu 7 hari berikutnya menyatakan kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik segera wajib melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk, dan dalam waktu 14 hari sesudah tanggal penerimaan kembali berkas tersebut harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum (pasal 110 ayat 2 dan 3 dan pasal 138 ayat 2). Dalam penanganan tindak pidana perikanan berbeda karena berdasarkan pasal 76 ayat 1 dan 3 UU No.45 tahun 2009 tenggang waktu penelitian hasil penyidikan dibatasi hanya 5 hari dan penyidikan lanjutan ditetapkan hanya 10 hari. Di dalam praktek sering terjadi bolak-balik berkas perkara hasil suatu penyidikan, karena dipandang oleh penuntut umum belum memenuhi syarat formil dan materiil. KUHAP sendiri tidak memberikan batasan berapa kali idealnya suatu berkas perkara dapat dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik, meskipun Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan telah membatasi 5 hari penelitian terhadap suatu hasil penyidikan dan perpanjangan penahanan hanya 10 hari dari Penuntut Umum, tetapi tidak secara tegas membatasi berapa kali hasil penyidikan tersebut dapat dikembalikan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik. Kendala menyangkut penelitian berkas perkara yang demikian ini sebenarnya dapat dihindari, sekiranya Penuntut Umum oleh Penyidik sejak awal dimulainya penyidikan diminta berpartisipasi secara aktif namun kebijakan yang demikian ini tetap dalam koordinasi fungsional. Jadi tidak harus menunggu berkas perkara tersebut selesai dijilid dan diserahkan secara “formal tahap pertama”. Hubungan koordinasi antara Penyidik dan Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana yang ditangani oleh Penyidik Polri, sebenarnya telah dilakukan sejak berlakunya KUHAP, yaitu dalam Instruksi Bersama Jaksa Agung dan Kapolri No. INSTR-006/J.A/10/1981 – Nopol. : INS/17/X/1981 tentang Peningkatan Usaha Pengamanan dan Kelancaran Penyidangan Perkara-Perkara Pidana yang dikukuhkan lagi dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. : M.14-PW-07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983. Begitu juga dengan Penyidik PPNS atau Perwira TNI Angkatan Laut, namun mengingat permasalahan tehnis yuridis tidak dapat diukur secara matematis, secara kasuistis kendala-kendala tehnis tersebut senantiasa muncul. Keempat, permasalahan menyangkut butir 5 tentang Penyidikan lanjutan berdasarkan petunjuk Penuntut Umum dalam berkas perkara merupakan hasil penyidikan yang dinyatakan kurang lengkap. Terkait dengan petunjuk penuntut umum kepada penyidik, perlu dibedakan pengertian “penyidikan lanjutan” dan “pemeriksaan tambahan”. Penyidikan lanjutan dilakukan oleh penyidik setelah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, ternyata penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan masih kurang lengkap. Oleh karena itu, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai dengan petunjuk (P-18 dan P-19) untuk dilengkapi dan penyidik segera melakukan penyidikan lanjutan sesuai dengan petunjuk penuntut umum (pasal 110 ayat 2 dan 3 KUHAP jo. pasal 138 ayat 2 KUHAP). Namun dalam praktek, apabila Penyidik berpendapat bahwa hasil penyidikan sudah optimal dan tidak dapat memenuhi petunjuk Penuntut Umum, selanjutnya berkas perkara tersebut diserahkan kepada Penuntut Umum, maka Penuntut Umum dapat melakukan “pemeriksaan tambahan” mengacu kepada ketentuan pasal 30 ayat 1 huruf e Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Namun demikian, melengkapi berkas perkara yang dilakukan penuntut umum dengan melakukan pemeriksaan tambahan tersebut, secara limitatif dalam penjelasan pasal tersebut dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Tidak dilakukan terhadap tersangka; 2. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan Negara; 3. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana; Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik. Proses pemeriksaan tambahan tersebut berbeda dengan proses penyidikan yang sudah dianggap lengkap, maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum dan dalam hal perkara dengan acara pemeriksaan singkat, penyidik pembantu dapat menyerahkan tersangka dan barang bukti langsung kepada penuntut umum, jika hasil penyidikan tersebut berasal dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu, maka penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti dilakukan melalui penyidik Polri dan selanjutnya penyidik Polri meneruskan penyerahan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum (pasal 107 ayat 3). Dalam perkara tindak pidana perikanan yang disidik oleh Penyidik PPNS Perikanan sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 73 ayat 1, 4 dan 5 UU No. 45 tahun 2009, maka Penyidik dapat langsung menyerahkannya kepada Penuntut Umum. Kelengkapan formil dan materiil dari hasil penyidikan sangat menentukan, mengingat hasil penyidikan adalah dasar dari pembuatan surat dakwaan yang dapat diajukan keberatan (eksepsi) oleh terdakwa atau penasihat hukum berdasarkan pasal 156 ayat 1 KUHAP, meliputi 3 hal, pertama apakah pengadilan berwenang mengadili perkara tersebut, kedua dakwaan tidak diterima atau ketiga surat dakwaan harus dibatalkan. Terhadap keberatan tersebut Pengadilan dapat menjatuhkan putusan selanya, pertama menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, karena menyangkut kompetensi, kedua surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima (niet-ontvankelijk varklaren), karena berasal dari hasil penyidikan yang tidak sah atau ketiga batal demi hukum karena nebis in idem, daluarsa atau terdakwa telah meninggal dunia dan lain sebagainya. Untuk mengeliminir kendala-kendala tersebut, mengingat salah satu faktor penting berhasil tidaknya tugas penuntutan dari Jaksa Penuntut Umum adalah penguasaannya atas kasus yang ditangani. Hal ini secara teoritis hanya dapat dicapai jika Jaksa telah berpartisipasi aktif sejak dilakukan pemeriksaan pendahuluan (proses penyidikan) yang dilakukan Penyidik. Pembentuk undang-undang memang telah memunculkan lembaga yang dikenal sebagai “pra penuntutan” (Pasal 138 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981), Jaksa mempunyai wewenang untuk mengembalikan berkas perkara pada Penyidik jika hasil penyidikan dirasakan belum memenuhi persyaratan formil dan materiil yang menyangkut pembuktian tindak pidana yang disangkakan. Selama ini langkah yang ditempuh oleh Kejaksaan Agung adalah menginstruksikan kepada para Kajati dan Kajari, agar : 1. Terhadap berkas perkara tahap I setelah diterima oleh Jaksa Peneliti (Jaksa P-16), untuk tindak pidana yang pembuktiannya mudah dan sederhana atau singkat paling lama 3 hari telah dinyatakan lengkap atau tidak. Jika dinyatakan lengkap diterbitkan surat pemberitahuan (P-21), sebaliknya jika tidak menggunakan surat pemberitahuan (P-18), sedangkan untuk perkara biasa paling lama 5 hari. Adapun petunjuknya untuk perkara singkat paling lambat 7 hari telah dikirimkan pemberitahuannya (P-19), sedangkan untuk perkara biasa paling lambat 10 hari. Dalam hal penanganan perkara tindak pidana perikanan, mengingat tenggang waktu penelitian berkas hanya 5 hari, maka tinggal disesuaikan waktunya yang jelas tidak boleh melebihi limit waktu tersebut sejak berkas perkara diterima dari Penyidik. 2. Terhadap berkas perkara yang telah dinyatakan optimal penyidikannya, tetapi Jaksa Peneliti memandang masih belum memenuhi syarat formil dan materiil meskipun alat-alat buktinya dinilai dapat memenuhi ketentuan yang digariskan undang-undang, maka dapat dilakukan pemeriksaan tambahan sendiri oleh Penuntut Umum (pasal 30 ayat 1 huruf e UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI). Seperti halnya syarat formil dan materil suatu kelengkapan berkas perkara, begitu juga tentang bentuk dan isi suatu hasil penyidikan tidak diatur secara khusus oleh KUHAP dan KUHAP hanya mengatur tentang jenis berita acara untuk setiap tindakan. Oleh karena itu, agar hasil penyidikan berupa setiap tindakan yang dituangkan dalam berita acara tersebut dapat menjadi berkas perkara, maka harus dikompilasi menjadi satu, yang susunannya secara umum mengacu kepada pasal 8, pasal 12, pasal 75, pasal 110, pasal 121, pasal 138 KUHAP, Pasal 2 dan 3 PP No. 27 tahun 1983, Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04-PW.07.03 tahun 1984, Keputusan Menteri Kehakiman No. M.05-PW.07.04 tahun 1984, Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep–023/J.A/3/1982 tanggal 24 Maret 1982 jo. Kep-094/J.A/10/1985 tanggal 8 Oktober 1985 tentang Adiministrasi Perkara Jo. Instruksi Jaksa Agung RI No. INS-006/J.A/7/1986 tanggal 15 Juli 1986 tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Tehnis Yustisial Perkara Pidana Umum serta Juklak dan Juknis Polri, SE-002/J.2/2/1985 tentang Hasil Eksaminasi Perkara terdiri dari : 1. Sampul berkas perkara; 2. Daftar isi berkas perkara; 3. Berita Acara Pendapat/Resume (pasal 121 KUHAP) 4. Laporan/Penerimaan Pengaduan (pasal 5 ayat 1 dan pasal 103 KUHAP); 5. Berita Acara Pemeriksaan di tempat kejadian perkara (pasal 27 ayat 1 huruf i KUHAP); 6. Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan (pasal 109 ayat 1 KUHAP atau pasal 75 ayat 5 UU No. 31 tahun 2004); 7. Berita Acara Pemeriksaan Saksi/Ahli/Tersangka (pasal 117, 120 dan 118 KUHAP); 8. Berita Acara Penyumpahan Saksi/Ahli (pasal 162, 120, jo 76 KUHAP); 9. Surat/Berita Acara Hasil Pemeriksaan Forensik Laboratorium (pasal 120, 187 c KUHAP); 10. Berita Acara Konfrontasi (pasal 75 ayat 1 k KUHAP); 11. Berita Acara Rekonstruksi (pasal 75 ayat 1 k KUHAP); 12. Berita Acara Penangkapan (pasal 75 ayat 1 b KUHAP); 13. Berita Acara Penahanan (pasal 75 ayat 1 c KUHAP); 14. Berita Acara Penangguhan Penahanan (pasal 75 ayat 1 k KUHAP); 15. Berita Acara Penggeledahan Rumah/Badan/Pakaian (pasal 75 jo 33 ayat 5 jo 126 KUHAP); 16. Berita Acara Penyitaan Barang Bukti (pasal 75 jo 129 ayat 2 KUHAP); 17. Berita Acara Pengembalian Barang Bukti (pasal 75 jo 46 KUHAP); 18. Berita Acara Pembukusan dan/atau Penyegelan Barang Bukti (pasal 75 jo 130 KUHAP); 19. Berita Acara Penyitaan Surat (pasal 75 jo 45 KUHAP); 20. Berita Acara Tindakan-tindakan lain (pasal 75 ayat 1 k KUHAP); 21. Surat Panggilan (pasal 112 KUHAP); 22. Surat Panggilan dengan perintah untuk dibawa menghadap (pasal 112 ayat 2 KUHAP); 23. Surat Perintah Penangkapan (pasal 18 KUHAP); 24. Surat Perintah Penahanan (pasal 21 KUHAP); 25. Surat Perintah Penangguhan Penahanan (pasal 31 KUHAP); 26. Surat Perintah Pengalihan Jenis Penahanan (pasal 23 KUHAP); 27. Surat Permintaan Perpanjangan Penahanan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (pasal 24 ayat 2 KUHAP); 28. Surat Permintaan Perpanjangan Penahanan kepada Ketua Pengadilan (pasal 29 KUHAP); 29. Surat Perintah Perpanjangan penahanan (pasal 24 atau 29 KUHAP); 30. Surat Perintah Pengeluaran Tahanan (pasal 24 ayat 3 dan 4 KUHAP); 31. Surat Izin/Persetujuan Penggeledahan/Penyitaan dari Ketua Pengadilan (pasal 33, 34, 38, 43 KUHAP); 32. Izin dari Gubernur Bank Indonesia dalam hal membuka rahasia bank, menyangkut nasabah penyimpan dan simpanannya (pasal 42 ayat 1) kecuali KPK; 33. Izin dari pejabat yang berwenang untuk meminta keterangan pejabat negara (UU No. 22/tahun 2003 tentang Susduk Anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU No. 32/tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan lain-lain sebagainya) kecuali KPK; 34. Surat Perintah Penggeledahan (pasal 33 KUHAP); 35. Surat Perintah Penyitaan (pasal 42 KUHAP); 36. Surat Tanda Terima Barang Bukti (pasal 41, 45, 47 KUHAP); 37. Surat Keterangan Dokter Ahli (visum et repertum) (pasal 187, jo 138, 139 KUHAP); 38. Dokumen-dokumen Bukti; 39. Daftar adanya saksi; 40. Daftar adanya tersangka; 41. Petikan hukuman terdakwa, jika residivis; 42. dan lain-lain sebagai kelengkapan berkas, seperti foto-foto rekonstruksi/barang bukti atau peraturan perundang-undangan terkait. Urutan-urutan tersebut 1 s/d 42 di atas tidak mutlak, tergantung dengan keperluan penyidikan dalam upaya melangkapi hasil penyidikan (berkas perkara), maka antara penyidikan tindak pidana satu dan lainnya tidak sama. Adapun menyangkut Berita Acara Pendapat (resume) pada butir 3 diatas, bentuk dan isinya tidak diatur oleh KUHAP. Bentuk dan isi yang ada selama ini dalam praktek disesuaikan dengan kebutuhan yang memformulasikan seluruh isi berkas perkara, sebab pasal 121 KUHAP hanya menyatakan: “Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara”. Berdasarkan ketentuan pasal 121 KUHAP tersebut, sudah cukup menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan berita acara tersebut adalah Berita Acara Pendapat (resume) dari suatu berkas perkara. Sedangkan yang dimaksud dengan rekonstruksi adalah visualisasi kejadian perkara yang diperagakan kembali berdasarkan data dan fakta yang diperoleh sebagai hasil penyidikan guna meyakinkan kebenaran hasil penyidikan. Dalam praktek, diberikan kesempatan kepada tersangka untuk memperagakan kembali tindak pidana yang dilakukannya langsung dari tempat kejadian perkara. Urutan-urutan kelengkapan isi berkas perkara atau hasil penyidikan tersebut tidak mutlak sama dalam setiap perkara, tergantung kepada pasal sangkaan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh penyidik dan diperlukan oleh berkas perkara. Setelah tanggung jawab terhadap tersangka dan barang bukti beralih dari Penyidik ke Penuntut Umum (tahap II), maka sesuai dengan penggarisan pasal 139 KUHAP Penuntut Umum menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah memenuhi syarat untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan. Jika telah memenuhi syarat, maka sesuai dengan ketentuan pasal 140 ayat 1 KUHAP Penuntut Umum segera membuat Surat Dakwaan dan selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan, berdasarkan pasal 143 ayat 4 KUHAP turunan surat pelimpahan beserta Surat Dakwaan tersebut disampaikan kepada terdakwa/Penasehat Hukum dan Penyidik, sebaliknya jika Penuntut Umum menilai bahwa perkara tersebut tidak cukup bukti, perbuatan tersebut bukan tindak pidana atau dihentikan demi hukum seperti daluarsa, terdakwa meninggal dunia atau ne bis in idem, maka sesuai dengan ketentuan pasal 140 ayat 2 huruf a Penuntut Umum dapat menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), yang diberitahukan kepada terdakwa dan Penyidik. Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana perikanan, berbeda dengan perkara tindak pidana lain karena untuk dapat bertindak selaku Penuntut Umum terhadap perkara tindak pidana perikanan sesuai dengan penggarisan pasal 75 ayat 2 Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan tentang Perikanan, bahwa Penuntut Umum harus memenuhi lebih dulu persyaratan sebagai berikut : a. Berpengalaman menjadi Penuntut Umum sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, b. Telah mengikuti pendidikan dan pelatihan tehnis di bidang perikanan, dan ; c. Cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalani tugasnya. Persyaratan untuk menjadi Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana perikanan sudah harus dimulai sejak tanggal 7 Oktober 2007. Jadi apabila dirinci ketentuan khusus Hukum Acara yang diatur di dalam Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan, terkait dengan penuntutan meliputi antara lain : 1. Persyaratan menjadi Penuntut Umum sebagaimana telah dikemukakan di atas (pasal 75 ayat 1 dan 2) ; 2. Tenggang waktu penelitian berkas perkara paling lama 5 hari (pasal 76 ayat 1) ; 3. Perpanjangan penahanan diberikan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik paling lama 10 hari (pasal 73B ayat 3) ; 4. Penahanan lanjutan oleh Penuntut Umum paling lama 10 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 10 hari (pasal 76 ayat 6 dan 7) ; 5. Persidangan tanpa dihadiri oleh terdakwa/in absentia (pasal 79) ; 6. Persidangan perkara tindak pidana perikanan sudah harus diputus paling lama 30 hari sejak berkas perkara diterima oleh Pengadilan dari Penuntut Umum. Khusus menyangkut ketentuan persidangan tanpa dihadiri oleh terdakwa (in absentia), merupakan pengecualian karena pada prinsipnya pemeriksaan suatu perkara di depan sidang pengadilan, dihadiri oleh terdakwa dan untuk itu mengharuskan penuntut umum menghadirkan terdakwa dalam pemeriksaan. Akan tetapi adakalanya terdakwa tidak hadir pada persidangan yang ditentukan. Pada umumnya hal itu terjadi terhadap perkara yang terdakwanya tidak dilakukan penahanan, baik karena tidak memenuhi ketentuan pasal 21 ayat 4 KUHAP maupun karena penahanannya ditangguhkan. Untuk hal itu, perlu diperhatikan apakah pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan telah dilakukan secara sah (pasal 145 dan pasal 146 KUHAP). Jika surat panggilan telah dilakukan dengan sah sebanyak dua kali, namun terdakwa tetap tidak hadir pada hari sidang ditentukan, tindakan yang diambil adalah melihat faktor atau sifat ketidak hadiran itu. Ketidak hadiran terdakwa tanpa alasan yang sah, dapat menyebabkan ketua sidang memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa secara paksa (pasal 154 ayat 6 KUHAP). Ketentuan tersebut diatas hanya berlaku jika terdakwa hanya seorang saja tetapi jika terdakwanya terdiri dari beberapa orang dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, maka pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan (pasal 154 ayat 5 KUHAP). Begitu juga halnya dalam penjatuhan putusan, dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada (pasal 196 ayat 2 KUHAP), bahkan berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan putusan yang diucapkan tersebut mengikat dan berkekuatan hukum terhadap terdakwa yang tidak hadir. Hal itu, ditegaskan di dalam penjelasan pasal 196 ayat 2 KUHAP, dimaksudkan untuk melindungi kepentingan terdakwa yang hadir dan menjamin kepastian hukum secara keseluruhan dalam perkara yang bersangkutan. Pemeriksaan di luar hadirnya terdakwa, lazim disebut in absentia. Perkataan in absentia berasal dari bahasa latin berarti tidak hadir, dalam bahasa Perancis disebut absentia dan dalam bahasa Inggris absent atau absentie. Meskipun hal ini hanya dikenal di dalam proses penuntutan, baik di dalam pasal 23 Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah duganti dengan pasal 38 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001, pasal 36 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 maupun pasal 35 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tidak berarti tidak dapat dilakukan penyidikan secara in absentia. Penyidikan secara in absentia dapat dilakukan sepanjang telah dipenuhi syarat pemanggilan terhadap tersangka secara sah atau patut, mengacu kepada syarat pemanggilan dalam proses pemeriksaan di depan persidangan. Di dalam pasal 145 ayat 1 s/d 5 KUHAP dinyatakan panggilan tersebut sah : 1. Apabila surat panggilan tersebut disampaikan di alamat tempat tinggal terdakwa (tersangka bilamana dalam proses penyidikan), jika daerah tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediamannya terakhir. 2. Jika ketentuan butir 1 tidak dapat dipenuhi, maka disampaikan melalui Kepala Desa di kedua tempat tersebut. 3. Jika terdakwa (tersangka bilamana dalam proses penyidikan) di dalam tahanan disampaikan melalui pejabat Rumah Tahanan Negara. 4. Penerimaan surat panggilan tersebut, baik oleh terdakwa (tersangka bilamana dalam proses penyidikan) sendiri atau orang lain atau melalui orang lain dibuatkan tanda terima. 5. Apabila tempat tinggalnya tidak dikenal untuk perkara dalam proses penuntutan ditempelkan di papan pengumuman Pengadilan, yang berwenang mengadilinya, sedangkan dalam proses penyidikan untuk memudahkan seyogianya pemanggilan dapat dilakukan melalui media cetak nasional dan lokal. Sesuai dengan ketentuan pasal 146 KUHAP tenggang waktu pemanggilan 3 hari (dalam penyidikan tidak diatur), sedangkan ketentuan mengenai jumlah pemangilan di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak diatur, tetapi di dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 diatur minimal 3 kali. Persidangan in absentia ini sebenarnya mengacu kepada prinsip bahwa Pengadilan tidak boleh menolak menyidangkan suatu perkara dan hal tersebut secara tersurat ditegaskan oleh pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan undang-undang sebelumnya. Tujuannya jika di dalam perkara Tindak Pidana Korupsi adalah untuk mengembalikan kerugian negara dengan menyatakan barang bukti atau harta benda milik tersangka dirampas untuk negara, sedangkan di dalam perkara Tindak Pidana Pencucian uang agar pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan Pencucian uang dapat berjalan lancar. Di dalam Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan tentang Perikanan alasan persidangan in absentia tidak dijelaskan, namun hakekatnya hal tersebut diatur terkait dengan barang bukti berupa kapal, perlengkapannya serta hasil tangkapan ikan yang dapat dituntut dan diputus dirampas untuk negara. Prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut KUHAP, yang melarang pemeriksaan di luar hadirnya terdakwa, namun ketentuan ini tidak berlaku terhadap Tindak Pidana tertentu, seperti Korupsi, Pencucian Uang dan dengan keluarnya Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan terhadap tindak pidana perikanan. Putusan yang dijatuhkan diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah daerah atau diberitahukan kepada kuasanya. Dalam persidangan in absentia dan terhadap putusan in absentia tidak dapat dihadiri oleh Penasehat Hukum dan dimintakan upaya hukum, mengacu kepada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1988 tanggal 10 Desember 1988 yang memberi petunjuk kepada Ketua Pengadilan Tinggi/Negeri seluruh Indonesia, untuk menolak Penasehat Hukum atau Pengacara yang diberi kuasa oleh terdakwa dalam sidang in absentia untuk mewakili atau megurus kepentingannya. IV. FORMULASI TUNTUTAN Formulasi tuntutan pidana ini tidak diatur dalam KUHAP namun dalam praktek peradilan setelah selesai pemeriksaan terdakwa Hakim memberikan kesempatan kepada Penuntut Umum untuk membacakan tuntutannya, berkaitan dengan hal tersebut Penuntut Umum pada acara tuntutan mebacakan tuntutan yang telah dibuatnya (diatur dalam KEPJA No. KEP-023/J.A/3/1982 tanggal 24 Maret 1982 tentang Administrasi Perkara). Yang sistematikannya sebagai berikut: 1. Pendahuluan. 2. Surat Dakwaan. 3. Fakta-fakta Persidangan. 4. Pembuktian. 5. Kesimpulan. 6. Penutup. Dalam penanganan tindak pidana perikanan Penuntut umum dalam melakukan penuntutan berpedoman pada surat Jaksa Agung RI nomor: B-434/F/Ft.2/03/2010 perihal Pendelegasian kewenangan pengendalian penuntutan perkara tindak pidana perikanan. V. PENUTUP. 1. Surat dakwaan yaitu uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan; 143 ayat (2) Huruf b KUHAP. Surat yang menjadi dasar bagi Hakimuntuk memeriksa dan mengadili seseorang terdakwa dimuka Pengadilan, yang berdasarkan pada berkas perkara yang di buat Penyidik 2. Penuntutan adalah menurut pasal 1 angka 7 KUHAP adalah tindakan Penuntutan Umum melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang- undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TINDAK PIDANA PERIKANAN DI ZEE: SEBUAH DISKUSI

TINDAK PIDANA PERIKANAN DI ZEE: SEBUAH DISKUSI Hamzah Lubis * Nampaknya, terdapat perbedaan pemahaman antara hakim karir dengan hakim ad hoc dalam menerapkan hukuman pidana perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Para hakim menyadari bahwa saat ini, di ZEEI belum ada perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan negara lain. Namun dalam penerapan hukuman pidana perikanan ada yang menetapkan hanya hukuman denda saja dan ada pula hukuman denda plus subsider kurungan. Tulisan ini mencoba mengurai pemahaman dari dua aliran ini. Pendahuluan Ketika seorang calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan menyelesaikan diklat, yang dipahami dan diyakininya tidak ada hukuman badan ataupun kurungan bagi tindak pidana di ZEE. Namun ketika memutus perkara bersama hakim karir, terjadi benturan pendapat – pada umumnya – yang menyebabkan keyakinan hakim ad hoc berkurang sehingga mengalah atau tetap bertahan

Aspek Hukum Sebuah Tanda Tangan

ASPEK HUKUM DARI SEBUAH TANDA TANGAN Oleh : * Dedy Lean Sahusilawane,SH. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenali seseorang baik itu dalam lingkup keluarga, masyarakat ,melalui suatu bentuk panggilan yaitu sebuah nama dan tanda-tangan yang merupakan abstraksi dari jati diri seseorang. Yang menjadi suatu permasalahan ialah pada saat orang tersebut berinteraksi, misalnya membuat sebuah transaksi jual-beli, sewa-menyewa,surat-menyurat,dsb, maka orang tersebut akan membubuhkan tanda-tangan sebagai perlambang dari tindakan orang tersebut, bagaimana makna dari sebuah tanda tangan dalam tulisan ini, penulis akan mencoba memaparkan untuk memberikan pemahaman hukum terhadap makna pembubuhan sebuah tanda tangan dalam penandatanganan suatu akta. KUHPerdata (Burgelijk Wetboek) hanya mengakui surat yang bertanda tangan, karena surat dalam BW diperlukan sebagai sarana pembuktian dalam peruntukannya. Surat yang tidak bertanda tangan, tidak diakui dalam BW, karena ‘tidak dapat diketahui’