Langsung ke konten utama

Kompetensi Badan Peradilan Umum di Indonesia

Ketika zaman Hindia Belanda dikenal adanya dualisme dalam sistem pengadilan di Indonesia, karena adanya pemisahan pengadilan untuk golongan yang berbeda dengan pengadilan untuk golongan pribumi (bangsa Indonesia). Namun pada saat itu sudah ada pengklasifikasian jenis peradilan berdasarkan yurisdiksi perkara yang ditangani. Susunan pengadilan di Jawa dan Madura yang diatur oleh Reglement op de Rechterlijke Organisatie 1848 (disingkat R.O.), pada Pasal 1 disebutkan adanya 6 (enam) macam pengadilan, yaitu : 1. Districtsgerecht; 2. Regentschapsgerecht; 3. Landraad; 4. Rechtbank van Omgang; 5. Raad van Justitie; 6. Hooggerechtsof. Badan pengadilan yang pertama adalah pengadilan yang yurisdiksinya berkompeten mengadili orang-orang pribumi. Sedangkan 3 (tiga) peradilan berikutnya adalah lembaga pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara untuk golongan penduduk Eropa. Raad van Justitie juga berfungsi sebagai pengadilan tingkat banding. Sedangkan Hooggerechtshof juga bertindak sebagai pengadilan Kasasi bagi orang-orang pribumi yang diadili di Landraad. Pada tahun 1901, Rechtbanken van Omgang dihapus dan diganti dengan Residentiegerecht. Di samping itu, pada tahun 1914 dibentuk suatu pengadilan baru, yaitu Landgerecht. Untuk di luar Jawa dan Madura, susunan pengadilan yang berlaku mengacu kepada S. 1927 No. 2777, yang menggantikan berbagai reglement sebelumnya. Susunan kehakiman atas dasar Reglement 1927 buat daerah-daerah seberang adalah sebagai berikut : 1. Untuk Bangsa Indonesia a. Pengadilan Sipil 1) Districtsgerecht atau Districtsraad (Bangka, Belitung, Manado) (Sumatera Barat, Banjarmasin, Ulusungai); 2) Magistraatsgerecht 3) Landraad 4) Raad van Justitie ( di Padang, Medan, Ujung Pandang) 5) Hoogerechtshof (Di Jakarta) b. Pengadilan Kriminal 1) Districtsgerecht atau Districtsraad (Bangka, Belitung, Manado) (Sumatera Barat, Tapanuli, Banjarmasin, Ulusungai) 2) Negorijrechtbank (Ambon, Saparua, Banda) 3) Landgerecht atau Magistraatsgerecht; 4) Landraad; 5) Raad van Justitie; ( Di Padang, Medan, Ujung Pandang) 6) Hoogerrechtshof (Di Jakarta). 2. Untuk Bangsa Eropa a. Pengadilan Sipil 1) Residentiegerecht (Burgerlijke Kamer); 2) Raad van Justitie;(Di Padang, Medan, Ujung Pandang) 3) Hooggerechtshof (Burgerlijke Kamer) ( Di Jakarta) b. Pengadilan Kriminil 1) Landgerechts atau Residentiegerecht; 2) Raad van Justitie (Strafkamer); Politierechter; 3) Hooggerechtshof (Strafkamer). Lembaga peradilan kembali mengalami perubahan ketika Indonesia diduduki oleh Jepang. Pada waktu balatentara Jepang datang ke Indonesia, maka pengadilan-pengadilan Hindia Belanda ditutup. Perkara-perkara diselesaikan oleh Pangreh Raja. Keadaan semacam itu berlangsung sampai bulan Mei 1942. Sejak pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan kekuasaannya di Indonesia, peradilan dilakukan oleh Gunpokaigu, Gunritukaigi, Gunsei Hooin, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Karena itu, semua badan-badan peradilan dari Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Residentiegerecht, yang dihapuskan dengan UU No. 4 Tahun 1942 diganti namanya menjadi sebagai berikut : 1. Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri); 2. Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian); 3. Regentschappsgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten); 4. Districtsgerecht menjadi Gun Hooi (Pengadilan Kewedanaan). Namun, tidak lama kemudian Undang-Undang No. 14 Tahun 1942 dicabut dan diganti dengan UU No. 34 Tahun 1942, yang mengatur lebih lanjut susunan pengadilan sipil. Berdasarkan undang-undang yang baru ini, maka selain dari pengadilan-pengadilan yang sudah disebutkan dalam UU No. 14 Tahun 1942, ditambah lagi dengan 2 (dua) buah pengadilan yaitu : 1. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), lanjutan dari Raad van Justitie; 2. Saiko Hooin (Mahkamah Agung), lanjutan dari Hoogerechtshof. Pada masa-masa awal kemerdekaan RI, eksistensi peradilan umum ini diatur dalam UU No.19 Tahun 1948. Menurut Pasal 6 UU No. 19 Tahun 1948 dalam negara Republik Indonesia dikenal 3 (tiga) lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan tata usaha pemerintahan, dan peradilan ketentaraan. Tentang Peradilan Agama tidak disebutkan oleh UU No. 19 Tahun 1948 itu, hanya dalam Pasal 35 ayat (2) ditentukan bahwa perkara-perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa oleh Pengadilan Negeri, yang terdiri dari seorang hakim beragama Islam, sebagai ketua dan 2 (dua) orang hakim ahli agama Islam sebagai anggota. Pada saat Indonesia menjadi negara serikat (zaman Konstitusi RIS 1949), pengaturan lembaga peradilan di Konstitusi RIS lebih luas dibandingkan dengan UUD 1945. Sebagai jaminan terlaksananya peradilan dengan baik, maka di dalam Konstitusi RIS diatur pula tentang syarat-syarat pengangkatan, pemberhentian, pemecatan kecakapan dan kepribadian dari pada hakim. Badan-badan yang ada seperti badan peradilan umum tetap dipertahankan, termasuk juga Peradilan Swapraja tetap dilanjutkan, kecuali Peradilan Swapraja di Jawa dan Sumatera telah dihapuskan dengan UU No. 23 Tahun 1947. Peradilan adat tetap dipertahankan, demikian juga peradilan agama. Konstitusi RIS telah mengatur pula peradilan tata usaha sekalipun belum ada peraturan pelaksanaannya. Perubahan terhadap lembaga peradilan kembali terjadi setelah Konstitusi RIS diganti dengan UUDS 1950, di mana Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Dengan demikian, karena UUDS tidak lagi mengenal negara-negara bagian seperti pada zaman Konstitusi RIS, berarti pula tidak dikenal lagi pengadilan-pengadilan di negara bagian. Sebagai realisasi dari UUDS, maka pada tahun 1951 diundangkan UU Drt No.1 Tahun 1951. UU Darurat inilah yang kemudian menjadi dasar dihapuskannya beberapa pengadilan yang tidak sesuai dengan negara kesatuan, termasuk secara berangsur-angsur menghapuskan pengadilan tertentu dan semua pengadilan adat. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Negara Republik Indonesia kembali menggunakan UUD Tahun 1945 yang sampai sekarang masih berlaku, sekalipun telah mengalami amandemen. Sejak mulai berlakunya kembali UUD Tahun 1945, lembaga peradilan telah berbeda jauh dengan lembaga pengadilan sebelumnya. Sejak itu tidak dijumpai lagi peradilan swapraja, peradilan adat, peradilan desa. Badan-badan peradilan telah berubah dan berkembang. 5 (lima) tahun setelah Dekrit Presiden, tepatnya pada tahun 1964, terbit UU No. 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan kehakiman. Kemudian, pada masa Orde Baru, UU No. No. 19 Tahun 1964 digantikan dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sama halnya dengan UU No. 19 Tahun 1964, dalam UU No. 14 Tahun 1970 ditentukan adanya 4 (empat) lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan tersebut tetap dipertahankan hingga kini. Dasar Hukum Peradilan Umum Saat ini, peradilan umum diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu : 1. UUD Tahun 1945 ; 2. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; 3. UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986; 4. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 5. UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU atas UU No. 8 Tahun 2004. Kompetensi Peradilan Umum Kompetensi peradilan umum secara umum dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu : Kompetensi absolut Kewenangan/kompetensi absolut Pengadilan adalah wewenang badan pengadilan untuk memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain (pada lingkungan peradilan yang berbeda). Hal ini berkaitan erat dengan bidang tugas peradilan umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompetensi relatif Kompetensi relatif Pengadilan berkaitan dengan perbedaan kewenangan pengadilan untuk mengadili dalam lingkungan pengadilan yang sama, baik itu karena dibedakan berdasarkan atribusi kewenangannya maupun karena perbedaan berdasarkan wilayah hukumnya. Perbedaan kewenangan berdasarkan wilayah hukum secara umum diatur dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 yang menentukan : a. Pengadilan Negeri berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. b. Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Tugas Pokok Peradilan Umum Sesuai dengan tugas pokoknya, lingkungan peradilan umum memeriksa dan memutus perkara-perkara yang menjadi kewenangannya. Menurut Pasal 25 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lingkungan peradilan ini dinamakan peradilan umum. Kata “umum” menunjukkan bahwa pada prinsipnya semua perkara masuk ke lingkungan peradilan ini, kecuali perkara-perkara yang oleh undang-undang ditentukan menjadi kewenangan lingkungan peradilan lain untuk menanganinya. Struktur Organisasi Peradilan Umum Struktur organisasi peradilan umum terdiri dari pimpinan (ketua, wakil ketua), Panitera, Sekretaris, Wakil Panitera, Wakil Sekretaris dan lain-lain. adapun bagannya dapat digambarkan sebagai berikut : Bagan Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Majelis Hakim Panitera/Sekretaris Wakil Panitera Wakil Sekretaris Panmud Permohonan Panmud Gugatan Panmud Hukum Kasubbag Kepegawaian Kasubbag Keuangan Kassubag Umum Kelompok Fungsional Kepaniteraan : 1. Panitera Pengganti 2. Juru Sita /Juru Sita Pengganti Juru Sita/Juru Sita Pengganti Ketua Wakil Ketua Bagan Struktur Organisasi Pengadilan Tinggi Majelis Hakim Panitera/Sekretaris Wakil Panitera Wakil Sekretaris Panmud Permohonan Panmud Gugatan Panmud Hukum Kasubbag Kepegawaian Kasubbag Keuangan Kassubag Umum Panitera Pengganti Ketua Wakil Ketua Pengadilan Khusus di Dalam Lingkungan Peradilan Umum Di dalam peradilan umum juga dapat diadakan diferensiasi/spesialisasi dengan membentuk pengadilan khusus seperti Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Anak dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Yang perlu diperhatikan bahwa pengadilan khusus semacam ini tidak berdiri sendiri, melainkan masih merupakan bagian yang tak terpisahkan dari peradilan umum. Pelaksanaan Putusan Peradilan Umum Dalam rangka eksekusi (pelaksanaan) putusan perdata, maka Ketua Pengadilan Negeri memimpin pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan untuk pelaksanaan putusan pidana dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). C. SUMBER-SUMBER Pada daftar di bawah ini dapat dilihat uraian bahan bacaan terkait setiap sub pokok bahasan yang akan disampaikan oleh pemberi materi. Untuk memudahkan proses pembelajaran, bahan-bahan bacaan yang ada di dalam daftar ini telah disediakan pada bagian lampiran dalam bahan ajar ini : 1. Peraturan Perundang-undangan a. Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. c. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986. d. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. e. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986. 2. Literatur a. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana. b. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia. c. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. d. Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan di Indonesia. e. Mr. Soepomo, Sistem Hukum Indonesia Sebelum Perang Dunia Kedua. f. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata. g. Direktur Pembinaan Teknis Peradilan Umum, Pola Pembinaan terhadap Teknis Peradilan Umum. h. Struktur dan Tupoksi Mahkamah Agung. i. Website pengadilan Negeri Jakarta selatan, Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Jaksel. j. Website Pengadilan Negeri Tangerang, Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Tangerang. 3. Pedoman Pelaksanaan a. SEMA dan PERMA. b. Buku II Mahkamah Agung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Dakwaan Penuntutan Tindak Pidana Perikanan

SURAT DAKWAAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PERIKANAN I. PENDAHULUAN Tindak pidana perikanan atau sering disebut illegal fishing adalah Penanganan perkara tindak pidana perikanan tidak saja sering mengundang silang pendapat, tetapi sering memunculkan ragam tafsir, baik menyangkut penerapan hukumnya, maupun menyangkut kewenangan. Hal demikian terjadi, disatu sisi karena keterbatasan pengetahuan tentang substansi hukumnya, di sisi lain menyangkut lingkup batas kewenangan masing-masing institusi penegak hukum, baik dalam tahap penyidikan (investigation level), tahap penuntutan (prosecution level) maupun tahap pemeriksaan di depan pengadilan (court level). Pada tanggal 29 Oktober 2009 yang lalu telah diundangkan Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Tindak Pidana Perikanan tentang Perikanan, diharapkan dengan adanya undang-undang ini, tidak saja memberikan kejelasan, tetapi juga dapat membangun suatu kondisi kepastian huk

TINDAK PIDANA PERIKANAN DI ZEE: SEBUAH DISKUSI

TINDAK PIDANA PERIKANAN DI ZEE: SEBUAH DISKUSI Hamzah Lubis * Nampaknya, terdapat perbedaan pemahaman antara hakim karir dengan hakim ad hoc dalam menerapkan hukuman pidana perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Para hakim menyadari bahwa saat ini, di ZEEI belum ada perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan negara lain. Namun dalam penerapan hukuman pidana perikanan ada yang menetapkan hanya hukuman denda saja dan ada pula hukuman denda plus subsider kurungan. Tulisan ini mencoba mengurai pemahaman dari dua aliran ini. Pendahuluan Ketika seorang calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan menyelesaikan diklat, yang dipahami dan diyakininya tidak ada hukuman badan ataupun kurungan bagi tindak pidana di ZEE. Namun ketika memutus perkara bersama hakim karir, terjadi benturan pendapat – pada umumnya – yang menyebabkan keyakinan hakim ad hoc berkurang sehingga mengalah atau tetap bertahan

Aspek Hukum Sebuah Tanda Tangan

ASPEK HUKUM DARI SEBUAH TANDA TANGAN Oleh : * Dedy Lean Sahusilawane,SH. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenali seseorang baik itu dalam lingkup keluarga, masyarakat ,melalui suatu bentuk panggilan yaitu sebuah nama dan tanda-tangan yang merupakan abstraksi dari jati diri seseorang. Yang menjadi suatu permasalahan ialah pada saat orang tersebut berinteraksi, misalnya membuat sebuah transaksi jual-beli, sewa-menyewa,surat-menyurat,dsb, maka orang tersebut akan membubuhkan tanda-tangan sebagai perlambang dari tindakan orang tersebut, bagaimana makna dari sebuah tanda tangan dalam tulisan ini, penulis akan mencoba memaparkan untuk memberikan pemahaman hukum terhadap makna pembubuhan sebuah tanda tangan dalam penandatanganan suatu akta. KUHPerdata (Burgelijk Wetboek) hanya mengakui surat yang bertanda tangan, karena surat dalam BW diperlukan sebagai sarana pembuktian dalam peruntukannya. Surat yang tidak bertanda tangan, tidak diakui dalam BW, karena ‘tidak dapat diketahui’